Senin, 01 Agustus 2011

(apa judulnya ?)

Setiap orang pasti punya cara yang berbeda memaknai perasaan, tapi yang pasti untuk saya pribadi, setiap orang memiliki derajat perasaan masing-masing. Boleh jadi kita melihat punggung orang lebih baik, padahal kita pun gak bisa lihat punggung kita sendiri tampaknya seperti apa kan. Saling sawang-sinawang kata ibu saya, Artinya, kita seringkali melihat kebahagiaan itu milik orang lain, dan gak jarang merasa diri kita sebagai orang yang menderita. Semua itu akan berkurang jika kita bersyukur. Ya, intinya adalah syukur. Bukankah Allah telah berfirman dalam QS. Ibrahim: 7, “Jika kalian bersyukur, pasti Aku (Allah) akan tambah (kenikmatan) untuk kalian, dan jika kalian ingkar, sesunggahnya adzab-Ku sangatlah pedih. ”


Saya analogikan dengan beberapa peristiwa sederhana, misalnya tentang update-an status kita di jejaring sosial media. Hanya karena rajin update status dengan bahasa sedikit ‘berat’, orang lantas menganggap kita lebih berisi. Padahal, penampilan diri tidak selalu berbanding lurus dengan value atau kemampuan seseorang. Begitu juga dengan penampilan dan pembawaan diri, boleh jadi kita melihat seorang putri miss universe misalnya yang sangat cantik ramping menawan aduhai, sangat terlihat feminim dan keibuan, namun hanya selintas bayangan yang ditampilkan, padahal ternyata aslinya dia sering berkata kasar, merendahkan orang, bahkan kurang memanusiakan pembantu di rumahnya sendiri (analogi ini berdasar cerita seorang teman berlatar hidup nyata). Bandingkan dengan seorang kenek wanita yang saya temui belum lama ini, dia begitu perhatian dengan para pengamen cilik jalanan, sampai jatah makan siangnya rela diberikan, walau dengan bahasa yang kasar, tapi sungguh terlihat keikhlasan disana.


Men-generalisir seseorang berdasarkan hasil pengamatan dari permukaan sesungguhnya unfair buat saya pribadi. Dan saya pun pasti pernah terjebak dalam wacana ini. Sejelek apapun seseorang, kita pasti masih bisa belajar darinya, apapun itu, jangan meremehkan orang lain (nilai yang saya dapat dari beliau yang selalu saya hormati). Tapi ingat, sekeren apapun orang lain, pasti dia punya noda yang tersimpan di dalam. Dan untuk kali ini giliran petuah mbah saya yang harus ditegakan. Mikul dhuwur Mendem Jero yang mengajarkan untuk menjunjung tinggi kehormatan dengan mengemukakan keunggulan dan menutupi keburukan.


Setiap kita pernah merasa salah, khilaf, lebay, galau, labil dan berbagai perasaan entah lainnya. Manusiawi, ketika kita pernah menjadi subyek yang melakukan atau objek penderita keadaan.
Mengundang kesedihan begitu gampang, padahal keceriaan yang ada begitu mudah dihadirkan. Seorang motivator sekalipun pernah jatuh, pernah galau dan absurd, setidaknya pernah saya dengar langsung dari seorang pak mario.


Ya, hanya seorang manusia biasa, yang sangat manusiawi untuk selalu membuat kesalahan, tak masalah selama kita bisa mengambil pelajaran bukan?. Masalahnya adalah mengatasi yang kita sebut bukan masalah ini yang membutuhkan energi lebih. Melewatinya dan memaknai bahwa memang hidup itu berat Jendral! Jadi gak usah dibikin berat, karena yang ditabur adalah yang akan dituai. Insya Allah...



disadur dari Catatan Ika Karunia Purnamasari (dengan beberapa perubahan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar